Mengapa blog ini saya buat??

Saya menyadari bahwa orang membutuhkan motivasi dalam hidupnya. Karena itu saya membuat blog ini untuk memberikan motivasi bagi sesama.

Bagi teman-teman yang ingin berbagi cerita-cerita motivasi atau ayat-ayat dan renungannya. Bisa mengirim email ke sastra_2005@yahoo.com. Dengan senang hati saya akan segera mempostnya. Terima kasih, semoga blog ini bermanfaat. GBU all

Saya juga persilahkan untuk mencomment post yang saya upload. Tapi saya minta tolong commentnya jangan menghina, menyinggung, atau berbau sara yah ^^

Atas masukan dari beberapa teman. Maka saya tampilkan panduan untuk memberi comment pada artikel2 yang ada.

1. Klik .. comment, yang terletak pada sebelah kanan tempat penulisan tanggal artikel diterbitkan (terletak dibawah artikel).
2. Pada bagian bawah artikel akan muncul field untuk memasukkan comment. Silahkan mengetik comment anda.
3. Pada bagian bawahnya ada field bertuliskan comment as (berfungsi untuk menandakan identitas anda).
4. Silahkan pilih identitas anda:
- name / url untuk memasukkan nama anda. Url boleh tidak diisi. klik continue untuk melanjutkan.
- anonymous untuk tidak meninggalkan identitas anda.
- ada beberapa pilihan account lain yang mungkin anda punyai.
5. klik preview untuk melihat tampilan comment anda.
6. post comment untuk menerbitkan dan memasang comment anda di artikel.

Semoga petunjuk ini membantu anda.

Tuesday, October 26, 2010

Sebungkus POP Mie

Aku menikmati segelas pop mie hangat di tengah guncangan kapal yang menyeberangi selat Bali. Lumayan untuk mengisi dan menghangatkan perut. Sejak siang perutku belum terisi makanan. Siang tadi aku tidak sempat makan, sebab harus menyelesaikan beberapa hal. Mau makan malam tidak jadi, sebab kupikir di dalam bis malam yang membawaku ke Denpasar nanti pasti dapat makan malam. Jadi buat apa makan di rumah? Ternyata makanan yang disajikan oleh rumah makan, dimana bis yang kutumpangi berhenti, terdiri dari ayam goreng dan sambal. Melihatnya pun aku langsung menjadi kenyang. Aku memang tidak bisa makan makanan pedas. Maka aku hanya minum teh hangat saja. Bis melanjutkan perjalanan menuju Denpasar.

Dalam kapal penyeberangan perutku sudah tidak bisa diajak kompromi untuk bersabar sampai Denpasar. Maka aku beli sebuah pop mie dan teh hangat. Belum selesai aku makan, datang seorang anak lelaki. Usianya sekitar 13 tahun. Penampilannya tidak jauh beda dengan anak-anakku di rumah singgah. Dia duduk tidak jauh dariku sambil menawarkan jasa semir sepatu pada orang yang duduk disebelahnya. Orang itu menolak, meski anak itu telah berusaha merayunya. Dia melihat padaku, tapi tidak menawarkan jasanya, sebab aku memang memakai sandal jepit. Dia beralih dan menawarkan pada beberapa penumpang lain. Tapi tidak satu pun yang mau menggunakan jasanya, bahkan ada yang dengan jelas mengusirnya.

Sepintas aku mendengar bahwa dia belum makan sejak siang. Tapi kupikir alasan klasik seperti teman-teman di Dinoyo juga senantiasa punya alasan. Aku melanjutkan makan mie. Aku sama seperti penumpang lain yang tidak tergerak untuk memberikan sesuatu atau menggunakan jasanya. Aku pikir mengapa sudah dini hari seperti ini masih ada anak kluyuran di kapal? Apa tidak dilarang untuk melakukan hal itu di atas kapal? Tampaknya dia tidak membawa peralatan yang biasa digunakan anak-anak semir. Dia hanya membawa tas kecil berisi peralatan semir. Mungkin untuk mengelabui petugas yang akan melarangnya.

Mungkin karena capek, anak itu duduk menonton TV. Aku tidak peduli lagi padanya. Aku pikir sudah sering aku membantu anak seperti itu. Ini saatnya aku melupakan mereka. Biar ada orang lain yang memberinya. Aku ingin menikmati sisa teh hangat. Kapal sudah hampir sampai di Gilimanuk. Aku bergegas turun. Kulihat anak itu berdiri dan berjalan dari kursi ke kursi mencari sesuatu. Dia sampai di kursi tempatku duduk. Dia mengambil gelas pop mie yang aku geletakan di bawah kursi. Masih ada sisa kuah di dalamnya. Lalu dia meminumnya. Aku tercengang! Tapi beberapa orang yang sudah ada di belakangku ingin segera turun. Aku pun turun dan masuk ke dalam bis.

Terbayang wajah anak itu yang menuangkan sisa-sisa kuah pop mie dalam mulutnya. Mungkin dia sungguh-sungguh lapar. Mengapa aku tadi diam saja? Aku beralasan bahwa dia tidak meminta padaku. Tapi dia tadi menatapku. Bukankah itu sebuah permintaan yang tidak terucapkan? Bukankah sorot matanya tadi sudah mengandung kata-kata mohon pertolongan? Mengapa aku tidak menawarinya pop mie? Mengapa aku tadi mengadili bahwa perkataanya belum makan sejak siang hanyalah sebuah kebohongan belaka? Aku memang sering dibohongi oleh teman-teman di Dinoyo, mereka mengatakan belum makan, lalu aku belikan makanan, tapi ternyata mereka masih punya uang untuk beli rokok. Mengapa aku tidak berani dibohongi sekali lagi? Terbayang lagi wajah anak itu. Seandainya aku membeli sebungkus pop mie lagi uangku masih tersisa banyak. Tapi mengapa tidak ada niatan untuk membelinya? Aku beralasan ingin berhenti sejenak. Aku ingin tidak peduli sejenak pada anak-anak miskin. Mengapa aku ingin berhenti sejenak? Berbagai pertanyaan menusuk hatiku.

Bis berguncang-guncang. Hatiku bergulat! Aku malu melihat diriku sendiri. Aku malu dengan idealismeku. Mengapa aku mau menolong teman-teman di Dinoyo sedang pada satu teman ini aku diam saja bahkan tidak peduli? Mengapa aku berpikiran negatif padanya bahwa dia berbohong soal lapar?
Teringat kembali perkataan Yesus bahwa Dia datang kapan saja. Aku hanya diminta berjaga-jaga. Aku sering mengatakan bahwa aku siap. Ternyata aku tidak siap. Aku tidak bisa senantiasa berjaga-jaga. Dengan berbagai alasan aku berusaha memaafkan diri dengan menyodorkan berbagai alasan yang kuanggap tepat untuk membela diri. Tapi wajah anak itu dengan sorot matanya senantiasa terbayang. Sorot mata itu berbalik mengejekku. Cara dia menuangkan sisa kuah mie seolah melecehkan idealismeku. Menghancurkan kesombonganku yang seolah sudah berbuat banyak sehingga membutuhkan istirahat. Dia ingin menunjukan bahwa aku belum mempunyai kepekaan hati pada orang yang membutuhkan pertolongan.

Aku pejamkan mata. Ingin mengakhiri semua perdebatan dalam hati dan tidur untuk menghabiskan sisa dini hari. Aku ingin tidur. Ya ternyata aku sudah tidur sejak makan pop mie tadi. Aku tidur seperti para pelayanan ketika tuannya pergi. Maka aku tidak sadar ketika tuan itu datang. Dulu aku sering menghina Petrus dan kawan-kawan yang enak tertidur di taman Getsmani padahal di dekatnya Yesus sedang bergulat dalam kecemasan. Kini aku memahami teguran Yesus pada Petrus. Betapa sulitnya untuk berjaga barang sejenak saja. Berjaga untuk menemani Yesus yang sedang dalam penderitaan. Yesus yang sedang menahan lapar. Dia telah datang padaku dan mengingatkan aku agar menemani Dia, tapi aku hanya terbangun sejenak kemudian melanjutkan tidurku. Aku baru sadar ketika semua sudah berlalu. Sebuah kesempatan telah kulepas. Kesempatan untuk melayani Yesus yang datang padaku.

Terbayang kembali tatapan mata anak itu yang tertuju padaku. Aku yakin bahwa dia tidak menatapku melainkan menatap pop mie yang ada di tanganku. Dia seperti Lazarus yang menatap orang kaya yang sedang menikmati makanannya. Bukan orang kaya itu yang menjadi perhatiannya, melainkan makanan yang ada di mejanya. Makanan yang bisa mengurangi rasa laparnya. Ketika tuan itu selesai makan, maka Lazarus mengambil remah-remah yang jatuh dari meja tuannya. Anak itu pun mengambil gelas pop mie setelah aku pergi. Sebetulnya aku bisa merasakan penderitaan anak itu. Aku sudah merasakan kelaparan sebab sejak siang belum makan, tapi hatiku tenang bahkan aku menolak makanan di rumah makan, sebab aku yakin bisa membeli makanan yang sesuai dengan seleraku. Aku mempunyai uang di saku baju. Anak itu kelaparan dan pasti tidak punya uang di sakunya. Dia sudah berusaha menawarkan jasa untuk membeli makanan, tapi dia gagal. Mengapa aku yang sudah merasakan kelaparan tidak bisa memahaminya? Apakah uang yang membuat hatiku tidak peka? Aku tidak ubahnya seperti orang kaya yang buta hati.

Dalam kegelisahan aku ingin agar peristiwa itu terulang kembali, sehingga aku bisa membelikan dia sebungkus pop mie. Tapi bis terus melaju menembus kegelapan dini hari. Apakah kalau peristiwa itu terulang, aku bisa memberikan apa yang aku miliki untuknya yang sedang kelaparan? Aku tidak yakin. Aku masih sering terlelap dan tidak siap ketika Yesus datang. Maka aku perlu mengubah diri. Aku perlu peka akan penderitaan sesama yang ada disekitarku bukan hanya disuatu tempat dan suatu waktu, melainkan sepanjang waktu dan dimana saja. Bukan hanya sebuah kewajiban dan tugas, tapi suatu sikap yang keluar secara spontan dari dalam batinku. Anak kecil itu membuka mataku bahwa aku masih harus banyak berubah. Aku masih belum bisa menjadikan pelayanan dan kepedulian sebagai bagian dari hidupku. Sebagai nafas yang keluar secara otomatis tanpa aku banyak berpikir dan pertimbangkan. Aku tidak boleh bangga dengan apa yang sudah aku lakukan saat ini. Yesus tidak datang hanya di Dinoyo tapi Dia datang di tempat Dia suka. Dia datang tanpa peduli apakah aku sedang lapar atau capek. Dia datang sesuka hatiNya. Inilah ujian imanku.

salam,


gani
yogas@indo.net.id

No comments:

Post a Comment